Begitu halnya si
Amin gadis kecil asal desa Mulusan Paliyan Gunungkidul yang tengah tinggal
bersama Ibu dan neneknya disebuah rumah kecil dan masih beralaskan tanah. Estri
aminah nama lengkap gadis kecil tersebut, setiap harinya dia harus melakoni
hidupnya sebagai little wonder girl ,
dia gadis kecil yang belum layaknya untuk berpikir dewasa di jaman sekarang
yang serba digital, yang biasanya anak- anak seumuran amin sedang dimanjakan
oleh fasilitas yang diberikan oleh orangtuanya, dan diperhatikan dengan kasih
sayang orangtuanya.
Namun, keadaanlah
yang memaksa dia tidak bisa merasakan itu semua, meskipun diluar sana masih banyak anak –anak terlantar
bahkan lebih sulit hidupnya dibandingkan dengan amin, berkat Aminlah tulisan
ini dapat dibaca, semoga bisa menjadi renungan untuk kita semua.
Setiap harinya
gadis kecil yang sebentar lagi menjadi siswa SMP ini harus bangun pagi- pagi
sebelum berangkat kesekolah, ditemani oleh neneknya yang sudah tua namun masih
sehat membantu pekerjaan Amin sebagai anak yang diandalkan di keluarganya. Ibu
Amin sakit parah sejak dia belum dilahirkan di dunia ini, andai bumi bisa
menolak kelahiran seorang anak dari perut ibu yang tidak normal seperti ibu-ibu
lainnya mungkin Amin lebih baik memilih untuk tidak dilahirkan. Takdir yang
sudah ditulis oleh sang kuasa tak akan bisa rubah, ini semua atas kehendak-Nya.
Sedih sudah tentu
ketika melihat si Amin yang masih terbilang belum cukup umur harus bisa membagi
waktu untuk keluarganya, mengurus Ibu dan neneknya yang tinggal serumah tanpa
Ayah yang menemani, Ayah Amin merantau kekota untuk mencari nafkah sebagai
penjual Mie ayam dan jarang sekali pulang, bahkan menurut cerita dari beberapa
tetangga, Ayah Amin sudah di izinkan untuk menikah lagi oleh keluarga dari Ibu
Amin lantaran istrinya sudah tidak bisa lagi mengurus suami dan anaknya seperti
ibu- ibu normal, namun ayah Amin belum juga menikah hingga sekarang, mungkin
Amin adalah alasan ayahnya belum atau tidak menikah lagi.
Embun pagi masih
membasahi dedaunan disekeliling rumah Amin, tampak dedaunan hijau dan langit
cerah ikut membangunkan tidurnya pagi itu.
“Amin, tangi nduk ,
wes subuh gek masak gek sekolah”
sambil menjepit
hidung si Amin dengan kedua jarinya, kata si Amin neneknya selalu begitu ketika
membangunkan Amin dari tidur.
“haaaah, iyo mbok,
wes mbok ojo di bumpeti irungku, aku tangi mbok” jawab Amin kepada simboknya.
Amin segera
bergegas untuk mandi dan merebus air hangat untuk mandi neneknya
yang sudah tua, dan sisanya dia tuangkan ke dalam termos panas untuk membuat
minuman hangat.
Sambil menanak nasi
di atas tungku yang perlahan menghangatkan tubuh si Amin di pagi hari yang
dingin, sambil menyeduh teh hangat yang dibuatkan oleh neneknya Amin duduk
dihadapan tungku dan panci penanak nasi dengan pakaian sekolah untuk sekolahnya
hari ini.
Tidak lupa Amin
membuatkan teh hangat untuk ibunya yang hanya bisa duduk dan tidur di atas
tanah di sebuah kamar yang sudah bertahun-tahun ia tinggali.
Nampak Aminlah yang
dibutuhkan oleh Ibunya, Amin anak yang berbakti karena hanya dia yang bisa
berkomunikasi dengan ibunya yang sedang sakit jiwa. Neneknya pun tidak berani
untuk berbicara atau melayani Ibu si Amin, sehingga apapun yang Ibunya minta
maka Aminlah yang melayani segala keperluannya, dan itulah sebabnya Amin
menjadi wakil kepala keluarga di keluarga mereka.
Suatu ketika,
tetangga sebelah rumah Amin sedang melaksanakan hajatnya, mantu kalau bahasa orang
jawa, sudah biasa tetangga –tetangga pun datang ke rumah yang sedang menggelar
hajatan tersebut untuk “jagongan”, dan aminlah yang menggantikan semuanya, amin
yang berperan layaknya seorang ibu yang sedang berkumpul dengan ibu-ibu lainnya
demi menjaga silaturahmi antar tetangga. Ironi atau kasihan atau memang sudah
selayaknya?
Ironi, karena anak
seusianya seharusnya belajar, bermain dan ikut ibunya ketika jagongan.
Kasihan? Karena
terlihat hidup sebatangkara tanpa ayah dan ibu yang bisa menjaganya.
Sudah selayaknya?
tentu tidak, tapi karena keadaan yang memaksanya harus melakoni semua hal
tentang pekerjaan rumah, hidup bertetangga dan wakil kepala keluarga itulah
yang membuat kepala ini harus tertunduk malu kepada si Amin gadis kecil
kelahiran tahun 2001 itu.
“Amin, nanti mau
lanjut SMP enggak?” tanyaku kepada si pemilik suara serak-serak basah ini
“lanjut mbak, kulo
ajeng lanjut teng SMP N I Paliyan, inshaa Allah” jawab amin dengan nada sopan
dan bahasa jawa halus
“waaah semoga
ditrima yaa?”
“amiin mbak, ….. “
Memang dari cara
dan gaya bicara anak ini sudah seperti orang dewasa, mungkin karena sudah
terlalu lama dia menjadi seorang yang memaksanya untuk dewasalah bahasa yang
sopan, halus dan tegar tercipta.
Ketegaran dan
semangatlah yang membuat saya salut kepada si Amin, dia mengajariku apa itu
arti mandiri, bukan yang hanya bisa mandi sendiri atau mengurus diri sendiri
namun bisa mengurus orang yang kita sayangi dengan ikhlas dan bersabar itulah
arti mandiri dalam hidupnya, bukan hanya sekadar bisa memasak untuk nenek dan
ibunya, namun beberapa kali dia memungut atau mengumpulkan buah asem yang biasa
jatuh dan dikumpulkan oleh anak-anak desa untuk dimakan atau dibuat minuman,
tapi amin mengumpulkan buah asem untuk dijual dan uangnya dia gunakan untuk
membeli keperluan sehari-hari,
Semoga ketika
oranglain tahu tentang hidup Amin yang luarbiasa ini, hatinya terenyuh dan bisa
ikut meringankan beban Amin dan ikut membantu memikirkan masa depan amin
nantinya agar tetap mejadi anak yang bisa mewujudkan cita-citanya meski
keterbatasan dan tanpa dukungan orangtua atau kasih sayang orangtua yang
seharusnya dia dapatkan.
Semoga !
Semakin banyak
orang yang membantu, semakin banyak juga orang yang tertolong.
Amiiin, kakak malu
dek …… :’)
Banyak pelajaran
hidup dari si gadis kecil, Estri Aminah